Rabu, 15 Oktober 2014

Hakikat belajar anak usia dini

1. latar belakang
Pendidikan anak usia dini merupakan upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan anak[1]. Pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan lebih lanjut. Proses pembelajaran bagi anak usia dini merupakan proses interaksi antara anak, sumber belajar dan pendidik dalam suatu lingkungan belajar tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. (Depag RI, 2003 : 2)
Karakteristik anak usia dini adalah aktif melakukan berbagai eksplorasi dalam kegiatan bermain, maka sesuai dengan karakteristik tersebut proses pembelajarannya ditekankan pada aktivitas dalam bentuk belajar sambil bermain yang menekankan pada pengembangan potensi di bidang fisik, intelegensi, sosial-emosional bahasa dan komunikasi menjadi kompetensi/kemampuan yang secara aktual dimiliki anak. Sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan anak usia dini maka penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia dini disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.  
2.     Fungsi dan tujuan pendidikan anak usia dini
Pendidikan anak usia dini berfungsi untuk membina, menumbuhkan dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan tahap perkembangannya dan memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan yang selanjutnya.
Dan tujuan pendidikan anak usia dini yaitu membangun landasan dalam untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggung jawab. Pendidikan anak usia dini juga bertujuan mengembangkan potensi sosial anak dalam lingkungan bermain yang edukatif lagi menyenangkan.
3.     Prinsip-prinsip pendidikan anak usia dini
Dalam pelaksanaan pendidikan anak usia hendaknya menggunakan prinsip-prinsip berikut ini:
1)    Berorientasi pada perkembangan anak
Dalam melakukan kegiatan, pendidik dianggap perlu memberikan kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Dikarenakan anak itu unik, meskipun berada pada usia yang sama namun perkembangan setiap anak itu berbeda satu sama lainnya maka perlu memperhatikan perbedaan secara individual. Dengan demikian dalam kegiatan yang disiapkan perlu memperhatikan cara belajar anak yang dimulai dari cara sederhana ke rumit, konkrit ke abstrak, gerakan ke verbal, dan dari ke-aku-an ke rasa sosial.
2)    Berorientasi pada kebutuhan anak
Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan baik perkembangan fisik maupun psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio emosional.
3)    Bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain
Pembelajaran anak usia dini yaitu lewat bermain. Melalui bermain anak  bereksplorasi untuk mengenal lingkungan sekitar, menemukan, memanfaatkan objek-objek yang dekat dengan anak,  dan  kesimpulan mengenai benda di sekitarnya.  Ketika bermain anak membangun pengertian yang berkaitan dengan pengalamannya

4)    Lingkungan yang kondusif

Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan  menyenangkan bagi anak, yaitu dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan bermain anak.

5)    Berpusat pada anak

Pembelajaran di PAUD hendaknya menempatkan anak sebagai subyek pendidikan. Oleh karena itu, semua kegiatan pembelajran diarahkan atau berpusat pada anak. Dalam pembelajaran berpusat pada anak, anak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan, mengemukakan pendapat dan aktif melakukan atau mengalami sendiri. Pendidik bertindak sebagai pembimbing atau fasilitator.

6)     Menggunakan pembelajaran terpadu

Pembelajaran pada pendidikan anak usia dini menggunakan pembelajaran terpadu. Dimana setiap kegiatan pembelajaran mencakup pengembangan seluruh aspek perkembangan anak. Hal ini dilakukan karena antara satu aspek perkembangan dengan aspek perkembangan lainnya saling berkaitan. Pembelajaran terpadu dilakukan dengan menggunakan tema sebagai wahana untuk mengenalkan berbagai konsep kepada anak secara utuh.

7)    Mengembangkan berbagai kecakapan hidup

Proses pembelajaran diarahkan untuk mengembangkan berbagai kecakapan hidup agar anak dapat menolong diri sendiri, mandiri dan  bertanggung jawab, memiliki disiplin diri serta memperoleh keterampilan yang berguna bagi kelangsungan hidupnya.

8)    Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar

Media dan sumber pembelajaran memanfaatkan lingkungan sekitar, nara sumber dan bahan-bahan yang sengaja disiapkan oleh pendidik /guru. Penggunaan media dalam pembelajaran membuat pembelajaran lebih menyenangkan.

9)    Dilaksanakan secara bertahap dan berulang–ulang

Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap, dimulai dari konsep yang sederhana dan dekat dengan anak. Untuk mencapai pemahaman konsep yang optimal maka penyampaiannya dapat dilakukan secara berulang.

10) Aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan

Proses pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan dapat dilakukan oleh anak yang disiapkan oleh pendidik melalui kegiatan-kegiatan yang menarik, menyenangkan untuk membangkitkan rasa ingin tahu anak, memotivasi anak untuk berpikir kritis, dan menemukan hal-hal baru. Pengelolaan pembelajaran hendaknya dilakukan secara demokratis, mengingat anak merupakan subjek dalam proses pembelajaran.

11) Pemanfaatan teknologi informasi

Pelaksanaan stimulasi pada anak usia dini dapat memanfaatkan teknologi untuk kelancaran kegiatan, misalnya tape, radio, televisi, komputer. Pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan pembelajaran dimaksudkan untuk memudahkan anak memenuhi rasa ingin tahunya.[2]

4.     Teori belajar anak usia dini
Pembelajaran pada anak usia dini identik dengan belajar sambil bermain, maupun bermain sambil belajar. Karna anak pada masa ini belum benar-benar siap untuk belajar sepenuhnya. Dan bermain pada anak sangat membantu dalam perkembangannya. Baik dalam perkembangan psikologis, sosialisasi, dan emosional anak. Piaget dalam Mayesty (1990 :42) mengatakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan menimbulkan kesenangan/ kepuasan diri seseorang. Sedangkan Parten memandang kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi, diharapkan melalui bermain dapat memberikan kesempatan anak bereksplorasi, menemukan, mengekpresikan perasaan, berkreasi, dan belajar secara menyenangkan. Selain itu kegiatan bermain dapat membantu anak mengenal tentang diri sendiri, dengan siapa dia hidup serta lingkungan tempat dimana ia hidup.
Adapun bermain pada anak usia dini dalam pandangan ahli dapat di uraikan sebagai berikut :
·      Buhler dan Danziger dalam Roger dan Sawyers (1995:95), berpendapat bahwa bermain adalah kegiatan yang menimbulkan kenikmatan, sedangkan Freud menyakini bahwa walaupun bermain tidak sama dengan bekerja tetapi anak menganggap bermain sebagai suatu yang serius.
·      Docket dan Fleer (2000:41-43) berpendapat bahwa bermain merupakan kebutuhan bagi anak, karena melalui bermain anak akan memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
·      Vygotsky dalam Naugton (2003:46) percaya bahwa bermain membantu perkembangan kognitif anak secara langsung. Ia menegaskan bahwa bermain simbolik memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan berpikir abstrak. Sejak anak bermain pura-pura, maka anak menjadi mampu berpikir tentang makna-makna objek yang mereka representasikan secara independen. Berhubungan dengan pembelajaran, Vygotsky dalam Naugton (2003:46) berpendapat bermain dapat menciptakan suatu zona perkembangan proximal pada anak.

Proses pembelajaran anak usia dini harus didasarkan prinsip-prinsip perkembangan anak usia dini, yaitu:
1.  Proses kegiatan belajar pada anak usia dini harus dilaksanakan berdasarkan prinsip belajar melalui bermain.
2.   Proses kegiatan belajar pada anak usia dini dilaksanakan dalam lingkungan yang
kondusif dan inovatif baik didalam ruangan maupun diluar lingkungan.
3.     Proses kegiatan belajar anak usia dini harus diarahkan pada pengembangan potensi kecerdasan secara menyeluruh.[3]

5.     Model pembelajaran anak usia dini
Model pembelajaran anak usia dini memiliki dua jenis model pembelajaran yaitu pembelajaran yang berpusat pada Guru dan pembelajaran berpusat pada Anak. pembelajaran yang berpusat pada Guru diprakasai oleh Povdov, Skinner, dan tokoh-tokoh behavioris lainnya. Adapun pembelajaran berpusat pada Anak diprakasai oleh Piaget, Erikson dan Isaacs.[4]
            Teori Behavioris, berdasarkan penelitian pavlov dalam mengamati prilaku hewan, bahwa jika hewan diberikan stimulasi tertentu, maka menimbulkan respon yang tertentu sesuai dengan stimulasi yang diberikan. Skinner mengemukakan bahwa seluruh prilaku manusia dapat dijelaskan atau diamati sebagai respon yang terbentuk dari berbagai stimulus yang pernah diterima dari lingkungannya.
            Teori Perkembangan, para ahli psikologi perkembangan melihat bahwa anak memiliki motivasi diri yang dimilikinya sejak lahir untuk menjadi mampu. “Motivasi berkemampuan”  inilah yang kemudian dipandang oleh para ahli psikologi sebagai dasar untuk mengembangkan pembelajaran yang berepusat pada anak, dengan menghargai seluruh proses perkembangan yang dimiliki oleh anak dan berkembang sesuai dengan ritme yang dimiliki masing-masing anak, dengan menciptakan lingkungan dan menyediakan peralatan yang menyediakan kesempatan pada anak untuk belajar dan berkembang.
            Para ahli psikologi telah menemukan pola dan tahapan dalam perkembangan yang berasal dari pengendalian yang muncul dari dalam diri anak, seperti kognitif, sosial-emosional, dan perkembangan fisik. Melalui pengetahuan ini dapat diciptakan lingkungan bekajar yang berbasis bermain untuk anak sehingga dapat mendukung perkembangan anak.

6.     Metode belajar bagi anak usia dini
Walaupun pendidikan berlangsung sepanjang hayat, namun menurut Maria Montessori, enam tahun pertama masa anak sebagai jangka waktu yang paling penting bagi perkembangannya. Tahun prasekolah menjadi masa dimana anak membina kepribadian mereka. Karenanya, setiap usaha yang dirancang untuk mengembangkan minat dan potensi anak harus dilakukan pada masa awal ini untuk membimbing anak menjadi diri mereka dengan segala kelebihannya. Orangtua dan pendidik harus dapat membantu anak menyadari dan merealisasikan potensi anak untuk menimba ilmu pengetahuan, bakat, dan kepribadian yang utuh.
Acuan memilih metode pengajaran untuk anak usia 0-6 tahun menurut Penasehat Himpunan Tenaga Kependidikan Usia Dini, Dr. Anggani Sudono MA, adalah melibatkan anak dalam kegiatan belajar. Ketika di sekolah anak diajak memilih materi yang ingin dieksplorasi. Dengan begitu anak mendapat inspirasi dan belajar mengambil keputusan sendiri. Terdapat beberapa metode pengajaran yang disesuaikan dengan tahap usia anak:
a.      Usia 0-3 tahun: anak dapat mengikuti kegiatan di sekolah taman bermain. Apapun metodenya, yang harus diperhatikan ialah hubungan komunikasi guru dengan anak, bagaimana cara guru itu berkomunikasi. Ketika mengajar, sebaiknya guru tidak mendominasi kegiatan anak.
b.     Usia 5 tahun: berikan kegiatan yang dapat memberi kesempatan pada anak mengobservasi sesuatu. Sebaiknya pendidik tidak melulu mencontohkan lalu anak mengikuti. Tapi, biarkan anak mencoba-coba, misal anak menggambar bunga dengan warna hijau, kuning atau biru. Pendidik dapat memberikan kosakata baru pada anak dan membiarkan mereka merangkai kalimat.
c.     Usia 6-12 tahun: perbanyak melatih kemampuan anak bercerita dan mempresentasikan apa yang mereka ketahui. Metode belajar ditekankan pada bagaimana anak berpikir kreatif, misalnya ketika menjelaskan suatu hal atau benda. Salah satunya dengan metode main maping, yaitu membuat jaringan topik. Misal, minta anak menjelaskan konsep meja dan biarkan anak memaparkan satu persatu pengetahuannya tentang meja mulai dari berbagai bentuk, fungsi sampai jumlah penyangganya.[5]

Proses belajar-mengajar yang baik adalah jika anak berinteraksi dengan pendidik, yaitu orangtua dan guru. Maka pendidik harus pandai menciptakan situasi yang nyaman, membangkitkan semangat belajar, dan anak antusias belajar dengan memberikan metode pengajaran yang tepat. Jika tipe belajar anak lebih aktif melalui alat pendengarannya (auditif), maka anak diajarkan dengan mendengarkan kaset yang diselingi dengan menunjukkan gambarnya (demonstrasi). dapat juga dengan memutarkan video agar anak dapat melihat (visual) dengan jelas apa yang terjadi. Dengan harapan, tujuan pembelajaran akan lebih mudah tercapai.


[1] Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta barat : Indeks, 2013) hlm 7
[2] Diakses dari http://paudonline.wordpress.com/2012/09/26/hakikat-pendidikan-anak-usia-dini/
[3]Diakses dari http://12042ma.blogspot.com/2014/01/teori-belajar-dan-pembelajaran-pada.html

Selasa, 23 September 2014

PERAN GURU LAKI-LAKI TERHADAP PAUD

Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan dasar anak yang akan membentuk anak itu menjadi apa kedepannya. Kita selaku pendidik anak usia dini harus kritis dalam melakukan perbaikan dan pembenahan pola didik anak usia dini. Disinilah guru memiliki peran penting yang sangat penting dalam pembentukan pola fikir anak.
Seperti yang kita ketahui pada umumnya sekolah-sekolah AUD di Indonesia pendidiknya adalah seorang perempuan. Padahal tidak ada peraturan yang mewajibkan guru PAUD itu harus seorang perempuan. Pada sekolah sarjana maupun pascasarjana sedikit sekali laki-laki yang memiliki minat di bidang ini. Dari sini timbul pertanyaan, apakah laki-laki tidak pantas mengajar Anak Usia Dini? Apakah laki-laki tidak lebih baik dalam mengajar anak usia dini dibandingkan perempuan? Padahal pengajar laki-laki dalam PAUD itu dibutuhkan sebagai model untuk murid laki-laki yang faktanya selama ini baik murid laki-laki maupun perempuan diajarkan oleh guru perempuan.
Penulis pernah menemukan guru laki-laki di sebuah PAUD dan itupun beliau hanya mengisi pelajaran Olah raga (kesehatan jasmani) di sekolah tersebut. Sehingga olah raga itu diidentik dengan sesuatu yang hanya dilakukan oleh laki-laki. Padahal olah raga itu merupakan hal yang dibutuhkan oleh tubuh, baik laki-laki maupun perempuan dan bahkan kebanyakan sekolah tidak memiliki guru laki-laki. Berdasarkan hasil observasi yang saya lakukan disebagian sekolah mengenai hal ini, para kepala sekolah menjawab tidak ada guru laki-laki yang melamar untuk bekerja di PAUD mereka dan juga banyak rumor beranggapan bahwa guru laki-laki dikhawatirkan melakukan pelecehan kepada anak usia dini dan guru perempuan dianggap lebih cocok pada pekerjaan ini.
Penulis beranggapan bahwa masih minimnya kesadaran masyarakat akan sosok laki-laki diPAUD. Masih adanya anggapan bahwa guru PAUD itu haruslah seorang perempuan dan mungkin pemikiran ini berdasarkan pada sifat perempuan yang dianggap lebih keibuan dibandingkan laki-laki. Padahal dalam diri laki-laki bisa jadi juga ada sifat kebapa-annya. Dan bisa jadi guru laki-laki bisa lebih baik dalam mendidik anak usia dini dengan sikap kelaki-lakiannya. Meski belum ada penelitian mendalam tentang ini, tapi tidak mustahil bagi laki-laki untuk dapat terjun dalam dunia kePAUDan.
Berdasarkan wawancara kepada beberapa laki-laki mengenai peluang berkarier di kePAUDan, mereka mengatakan tidak berminat pada bidang tersebut biarlah para wanita yang berkecimpung disana. Dan alas an mereka terkadang terlihat sepele. Beberapa pria tertawa saat ditanyakan, dan beberapa lainnya mengatakan bahwa mereka masih lelaki tulen, dan mereka malu kalau ternyata harus mengambil pendidikan perguruan tinggi pada jurusan PAUD.
Peran pemerintah dalam hal ini juga sebenarnya sangat berpengaruh. Sayangnya pemerintah seperti tidak memikirkan hal seperti ini. Di luar negeri pemerintah lebih cepat dalam mengatasi hal ini. Mereka membayar dua kali lipat gaji kepada guru PAUD lelaki. Kenapa? Karna permasalahan mereka sebenarnya sama dengan di Indonesia. Lelaki kurang berminat dalam bidang pengasuhan anak. Namun kebijakan pemerintah yang dianggap menguntungkan bagi mereka, maka banyak yang mulai memasuki dan menggeluti bidang pendidikan anak usia dini.
Penulis beranggapan bahwa pentingnya sosok guru laki-laki dalam pendidikan anak usia dini. Selain menjadi model bagi murid laki-laki, guru laki-laki juga perlu mewarnai pendidikan anak usia dini. Tentu dengan harapan, dengan adanya guru laki-laki dalam pendidikan anak usia dini membuat pendidikan anak usia dini lebih bergairah dalam kinerjanya. Hanya butuh sedikit waktu untuk menumbuhkan kesadaran ini, namun kita tak pernah tau kapan waktu itu akan tiba. Ini akan menjadi tugas yang masih harus dibenahi lagi. Akan ada perbedaan yang berarti dengan masuknya peran laki-laki dalam pendidikan anak usia dini.
Dengan tulisan ini, saya berharap ada kesadaran diantara kita dalam membangun pola fikir masyarakat kita terhadap pentingnya peran guru atau pengajar laki-laki dalam pembelajaran Anak Usia Dini. Karna pendidikan anak usia dini bukan semata kewajiban wanita dan bukan pula pekerjaan milik wanita. Pendidikan merupakan kewajiban kita semua selaku pendidik. Semoga tulisan ini bermanfaat,..

Rabu, 17 September 2014

Perkembangan Anak Usia Dini


A.   Perkembangan Anak Usia Dini
Anak usia dini merupakan masa dimana anak sangat sensitif dan peka dalam menerima berbagai ransangan yang sering disebut juga dengan Golden Age. Kepekaan setiap anak berbeda satu sama lainnya seiring perkembangan dan pertumbuhan anak secara individual. Perkembangan anak pada masa ini berdampak pada kemampuan intelektual, karakter personal dan kemampuan sosialnya terhadap lingkungan. Kesalahan penanganan anak pada masa ini akan menghambat perkembangan anak yang seharusnya optimal secara fisik maupun psikis. Perkembangan dan pertumbuhan anak merupakan dua hal yang sangat berbeda namun saling berdampingan. Perkembangan anak usia dini berhubungan dengan perubahan psikis, dan pertumbuhan ini bersifat kualitatif. Sedangkan pertumbuhan yang terjadi pada anak usia dini berhubungan dengan perubahan fisiknya dan ini bersifat kuantitatif.[1] Berikut merupakan fase-fase perkembangan anak usia dini:
1.     Perkembangan fisik
Perkembangan fisik adalah perkembangan yang paling mudah terlihat dan merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Perkembangan fisik anak juga dtandai dengan berkembangnya kemampuan anak terhadap motorik kasar dan motorik halus. Pada usia ini anak sudah bisa menuliskan namanya sendiri serta dapat melakukan gerakan-gerakan secara luwes.
2.     Perkembangan kognitif
Perkembangan anak usia dini juga meliputi perkembangan kognitif anak. Kemampuan ini berkaitan dengan daya ingat, penalaran, pemecahan masalah dan kemampuan menganalisa. Anak usia dini adalah seorang peneliti kecil. Dimana mereka melakukan penelitian dan menganalisa apa yang ada di lingkungan sekitarnya. Interaksi yang baik antara anak dan lingkungannya dapat mengoptimalkan perkembangan kognitif anak.
3.     Perkembangan emosional
Adapun beberapa emosi yang berkembang pada anak termasuk diantaranya rasa takut, marah, sedih, cemas, cemburu, gembira dan rasa kasih sayang.[2]
4.     Perkembangan bahasa
Penelitian menunjukkan bahwa cara orang tua berbahasa sangat mempengaruhi perkembangan dan kemampuan berbahasa pada anak. Dan penggunaan bahasa Ibu sangat memudahkan anak dalam belajar bahasa lebih cepat. Pada mulanya anak akan mulai mengoceh tidak jelas, kemudian dia bisa menyebutkan satu kata, dan berlanjut bisa menggabungkan dua kata sampai ia bisa mengungkapkan sebuah kalimat sederhana. Kemampuan anak dalam berbahasa mencerminkan kecerdasan anak.[3]
Selain dukungan orang tua, keluarga dan lingkungan sekitar, nutrisi dan asupan makanan sangat membantu perkembangan anak usia dini. Ini dikarenakan pada masa perkembangan anak usia dini dibutuhkan zat-zat gizi dalam proses pematangan jaringan tubuhnya dan menyiapkan energy dalam proses eksplorasi anak. Untuk lebih merinci tahapan perkembangan anak, penulis mengelompokkan perkembangan anak sebagai berikut;
1.     Usia 0-2 bulan
a.     Perkembangan mental dan bahasa
·      Mengenali wajah, mainan dan suara yang familiar
·      Menggunakan mata dan kepala untuk mengikuti benda yang bergerak
·      Membuat suara yang nyaring
b.     Perkembangan fisik, motorik dan sensor
·      Merespon secara spontan ketika disentuh di area tertentu
·      Membuat ekspresi wajah yang berbeda dalam merespon dari stimulasi rasa  yang berbeda
·      Memasukkan jari ataupun tangan kedalam mulut
c.     Perkembangan sosial dan emosional
·      Kadang-kadang tersenyum ketika berinteraksi dengan orang lain
·      Memiliki cara menangis yang berbeda ketika merasa ngantuk, sakit ataupun lapar
·      Lebih lama memandang wajah orang lain dibandingkan mainanataupun obyek lainnya
2.     Usia 3-6 bulan
a.   Perkembangan mental dan bahasa
·      Mengamati dan memeriksa obyek dengan memasukkannya kedalam mulut
·      Mengeluarkan suara yang terdengar seperti bunyi ma, ba,da,pa
·      Suka mendengarkan orang lain, khususnya ketika seseorang berbicara dengan nada tinggi dan kata sederhana (berbicara seperti bayi)
b.     Perkembangan fisik, motorik dan sensor
·      Dapat memegang obyek dengan tangan dan menggenggamnya dengan jari
·      Menarik tubuh untuk duduk dan bisa duduk tampa sandaran
·      Mencoba meraih benda-benda yang jauh dari jangkauan
c.     Perkembangan sosial dan emosional
·      Bereaksi terhadap bayi lain dengan menganggap bayi lain sebagai mainan
·      Menunjukkan berbagai tipe senyuman selama berinteraksi dengan orang lain
·      Bermain ci luk ba
3.     Usia 6-12 bulan
a.     Perkembangan mental dan bahasa
·      Melakukan tindakan yang disengaja untuk memecahkan masalah
·      Menggunakan kata-kata maupun isyarat untuk menunjukkan sesuatu ataupun seseorang
·      Menemukan mainan yang hilang
b.     Perkembangan fisik, motorik dan sensor
·      Merangkak
·      Berjalan menggunakan bantuan orang lain maupun furniture disekelilingnya
·      Memainkan dan menggenggam obyek dengan jari dan ibu jarinya
c.     Perkembangan sosial dan emosional
·      Terkadang menunjukkan rasa takut dan cemas ketika berada di suasana ataupun situasi asing
·      Mengajak orang lain berinteraksi dengan menunjuk ke arah obyek, atau menuju ke arah obyek yang di tunjuk oleh orang lain
·      Mampu mengekspresikan rasa marah
4.   Usia 12-18 bulan
a.     Perkembangan mental dan bahasa
·      Menyelesaikan masalah yang membutuhkan beberapa langkah penyelesainan masalah
·      Menggunakan mainan sebagai simbol, sebagai contoh minum dari cangkir mainan
·      Mengucapkan belasan kata
b.  Perkembangan fisik motorik dan sensor
·      Berdiri sendiri tampa bantuan orang lain maupun tampa berpegang pada benda lain
·      Menjaga keseimbangan ketika berada di permukaan yang berbeda
·      Memainkan obyek dengan jelas menggunakan gerakan kedua tangannya
c.   Perkembangan sosial dan emosional
·      Menyadari bila ada seseorang yang kesakitan dan mencoba menolong
·      Mulai menikmati berinteraksi dengan sesama bayi
·      Menggunakan intonasi suara untuk mengekspresikan emosi yang berbeda
5.   Usia 19 bulan - 2 tahun
a.   Perkembangan mental dan bahasa
·      Mengkombinasikan dua kata atau lebih dalam satu kalimat
·      Terlibat dalam sebuah permainan, misalnya berpura-pura menjadi pesawat terbang
·      Memiliki peningkatan besar terhadap jumlah kata yang di ucapkan ataupun dipahami
b.   Perkembangan fisik, motorik dan sensor
·      Mampu berdiri
·      Makan sendiri
·      Mampu mengontrol buang air
c.   Pengembangan sosial dan emosional
·      Mengenal diri sendiri ketika melihat cermin
·      Memindahkan sesuatu dan menemukan sesuatu
·      Menunjukkan emosi diri sendiri, seperti sepertii malu, bangga maupun bersalah
6.   Usia 2-3 tahun
a.   Perkembangan mental dan bahasa
·      Meniru tindakan rumit yang dilakukan orang lain
·      Menunjukkan ketertarikan terhadap televisi ataupun media lain
·      Menggunakan bahasa untuk mengontrol tindakan
b.   Perkembangan fisik motorik dan sensor
·      Menaiki tangga dengan menempatkan dua kaki disetiap anak tangga
·      Menggambarkan bentuk pola sederhana dengan menggunakan crayon atau spidol
·      Dapat membuat menara dengan menggunakan balok
c.   Perkembangan sosial dan emosional
·      Menunjukkan berbagai macam tertawa tergantung pada berbagai macam konteks sosial
·      Mengidentifikasi diri sendiri dan orang lain sebagai laki-laki atau perempuan
·      Membicarakan tentang perasaan dimasa sekarang ataupun masa lalu
7.   Usia 3-6 tahun
a.   Perkembangan mental dan bahasa
·      Menceritakan peristiwa yang telah terjadi
·      Menanyakan pertanyaan rumit, tidak hanya “apa”, “kenapa” dan “dimana”
·      Menggunakan kalimat yang panjang untuk menggabungkan berbagai ide dan tata bahasa yang rumit
b.   Perkembangan fisik, motorik dan sensor
·      Naik turun tangga dengan menapakkan satu kaki disetiap anak tangga
·      Menulis nama
·      Menyukai makanan tertentu terutama jika makanan tersebut sering dirasakan
c.   Perkembangan sosial dan emosional
·      Mampu menyembunyikan emosi dalam situasi sosial
·      Terkadang mendominasi lawan main, atau didominasi lawan main
·      Bermain dengan anak lain yang memiliki kesamaan ketertarikan[4]



Daftar pustaka
Novan Ardy wiyani.2014.psikologi Perkembangan Anak Usia Dini.Yogyakarta : Gava Media
http://www.enfa.co.id/development-milestones?gclid=CjwKEAjwv9-gBRD5ofn2jd2N0UUSJACcdilsOSZoklMqWeiSH0ygl6rAVVvww2WdUTxSHYwVHJZIhxoCW_nw_wcB#top



[1] Novan Ardy wiyani, psikologi Perkembangan Anak Usia Dini, (Yogyakarta : Gava Media,2014),hlm.7.
[2] http://dhani1192.blogspot.com/2013/04/makalah-fase-perkembangan-anak-usia.html
[3] http://www.ibudanbalita.net/938/perkembangan-anak-pada-masa-usia-dini.html
[4] http://www.enfa.co.id/development-milestones?gclid=CjwKEAjwv9-gBRD5ofn2jd2N0UUSJACcdilsOSZoklMqWeiSH0ygl6rAVVvww2WdUTxSHYwVHJZIhxoCW_nw_wcB#top